Perang
salip
1.
Pendahuluan
Perang salip adalah gerakan umat Kristen di
Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad
ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah
Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja
dan kerajaan Latin di Timur.[7namakan
Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan
memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.[8]
Istilah ini juga digunakan untuk
ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar
Benua Eropa,
biasanya terhadap kaum pagan
dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan
politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi
besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib”
lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika
iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang
Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan
daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling
bertukar ilmu pengetahuan. Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap
aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih
berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen
dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat)
bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen,
termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota
yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam
adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik,
dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara
individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci.
Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim
dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi
melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum
yang Muslim
dalam Perang Salib Kelima.
Asal
mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat
sebelumnya pada Abad
Pertengahan, selain itu juga
menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di
timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki.
Pecahnya Kekaisaran Carolingian
pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa
sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia,
dan Magyar,
telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah
untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja
berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax
Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para
ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan
mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin
tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista di
Spanyol
dan Portugal,
dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia
dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam,
yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia
dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada
tahun 1063, Paus
Alexander II memberikan restu kepausan
bagi kaum Kristen Iberia
untuk memerangi kaum Muslim.
Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja
yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium
yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk,
menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari
Kaisar Michael VII
kepada Paus Gregorius VII
dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus
kepada Paus
Urbanus II.
Perang
Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak
pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan
sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak
saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena
adanya Kontroversi
Investiture, yang berlangsung mulai
tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama.
Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi
Investiture berusaha untuk menarik
pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam
pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat
Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini
kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan
untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem
(dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut
ajaran Kristen) dan Antiokhia
(kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa”
adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang
yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di
Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib
tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka
percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga
pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah
apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu
teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah
“penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan
oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para
tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam
pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa
jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari
dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap
bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor
inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada
.
II. Faktor Penyebab
Terjadinya Perang Salib
1. Faktor Agama
Sejak
Dinasti Seljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fatimiyah pada tahun
1070 M bertepatan pada tahun 471 H, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi
memunaikan ibadah ke sana. Hal ini disebabkan karena para penguasa Seljuk
menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak
melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang berziarah
sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang-orang Seljuk yang
fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Seljuk sangat
berbeda dengan para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu
sebelumnya (Dewan Redaksi, 1997:240).
Perlu
diketahui, bahwa Dinasti Seljuk ialah dinasti yang pernah memerintah
Kekhilafahan Abbasiyah setelah Dinasti Buwaih pada tahun 1055 M-1194 M (Yatim,
2003:50). Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz
di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat hijrah mereka pergi
ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu,
dan dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq, karenanya mereka disebut orang-orang
Seljuk (Yatim, 2003:73)
Termasuk juga
faktor agama yaitu, adanya perasaan keagamaan yang kuat dikalangan umat
Kristen. Mereka meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa
walaupun dosa itu setinggi langit (Al-Wakil,1998:165.
2. Faktor Politik
Kekalahan
Bizantium -sejak 330 disebut Konstantinopel (Istambul)- di Manzikart (Malazkird
atau Malasyird, Armenia) pada tahun 1071 M dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah
kekuasaan Seljuk, telah mendorong Kaisar Alexius I Commenus (Kaisar Konstantinopel)
untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II (1035-1099; menjadi Paus dari 1088
sampai 1099) dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah
pendudukan Dinasti Seljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena
janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma dan harapan
untuk dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma (Dewan Redaksi, 1997:240).
Oleh karena itu Paus Urbanus II berpidato kepada seluruh umat Kristen Eropa di
Clermont pada tahun 1095 M untuk melakukan perang suci. Dia juga mengetahui
berbagai kesuksesan Kristen di Spanyol, yang mencapai puncaknya dengan
direbutnya Toledo, dan penaklukan di Sisilia (Watt, 1990:255).
Di
lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah, sehingga
orang-orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang
Salib. Ketika itu Dinasti Seljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan,
Dinasti Fatimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di
Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya
pertentangan segitiga antara Khalifah Fatimiyah di Mesir, Khalifah Abbasiyah di
Baghdad, dan Amir Umayyah di Cordoba yang memproklamasikan dirinya sebagai
Khalifah. Situasi yang demikian mendorong penguasa-penguasa Kristen di Eropa
untuk merebut satu-persatu daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti
dinasti-dinasti kecil di Edessa (ar-Ruha') dan Baitul Maqdis (Dewan Redaksi,
1997:240).
3. Faktor Sosial
Ekonomi
Pedagang-pedagang
besar yang berada di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada dikota
Venezia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang
di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan
dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib
dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka apabila
pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur
Eropa akan bersambungt dengan rute-rute perdagangan di Timur melalui jalur
strategis tersebut
Di
samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa itu terdiri dari tiga
kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan serat kesatria, dan rakyat jelata.
Meskipun kelompok yang terakhir ini merupakan mayoritas di dalam masyarakat,
tetapi mereka menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat
tertindas dan terhina, mereka harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering
bertindak semena-semena dan mereka dibebani berbagai pajak serta sejumlah
kewajiban lainnya. Oleh karena itu, ketika mareka dimobilisasi oleh pihak
gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan
diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila perang dapat
dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan berduyun-duyun
melibatkan diri dalam perang tersebut.
III. Bagaimana Perang
Salib Dimulai
Paus
Urbanus II bersemangat terhadap gagasan memerangi kaum Muslimin, apalagi
kondisinya katika itu sangat tepat bagi Sri Paus untuk memompa semangat dan
menuruti bisikan hatinya yang penuh dengan kedengkian dan kebencian itu.
Kondisi ketika itu teringkas dalam poin-poin berikut:
1. Kelemahan Dinasti Seljuk pasca wafatnya Malik
Syah, akibatnya negara Seljuk terpecah-pecah.
2. Tidak adanya pemimpin yang kuat yang menyatukan
perpecahan umat Islam dan membentuk pasukan yang tangguh guna mengusir setiap
lawan yang bermaksud jahat kepadanya.
3. Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama
Kristen, ini berarti membuka jalan antara Eropa dan negara-negara Timur
4. Penaklukan Qarsinah di laut tengah dan berdirinya
republik-republik kuat dan kaya raya di Italia seperti Januh dan Bunduqiyah.
Republik-republik tersebut memiliki angkatan laut yang kuat untuk melindungi
keselamatan bisnisnya.
5. Kemenangan Sri
Paus dalam mengendalikan para raja dan para gubernur di Eropa.
Karena
kondisi-kondisi di atas, Sri Paus berani mengumumkan terang-terangan
permusuhannya dan kebenciannya kepada kaum Muslimin. Ia menyerukan
diselenggarakannya kongres tahunan yang dihadiri oleh seluruh sekte agama
Kristen di Eropa Barat. Seruan Sri Paus disambut sebagian besar umat Kristiani
yang dihadiri 225 uskup gereja-gereja Eropa. Sri Paus berpidato di hadapan
mereka dan membakar sentimentil para hadirin. Ia jelaskan kondisi terakhir
Baitul Maqdis dan mengusulkan pembebasannya dari tangan kaum Muslimin. Para
peserta kongres menjawab dengan bodohnya: "Itulah sebenarnya yang
dikehendaki Allah!". Sri Paus puas dengan jawaban para peserta kongres
kemudian ia pasang salib di atas lengan para sukarelawan sebagai tanda bahwa
perang ini adalah suci (Al-Wakil, 1998:171).
Maka mulai saat
itulah genderang perang ditabuh, dan perjalanan perang ini memakan waktu yang
cukup lama dengan tiga periodesasi.
A. Periode
Pertama atau Periode penaklukan (1096-1144)
Jalinan
kerja sama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitkan
semangat umat Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II pada Konsili
Clermont pada tanggal 26 November 1095 M. Pidatonya ini bergema ke seluruh
penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai
bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas
yang diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat. Gerakan ini dipimpin oleh
Pierre I'Ermite, Sepanjang jalan menuju Kontanstantinopel, mereka membuat keonaran,
melakukan perampokan, dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongaria dan
Bizantium, akhirnya dengan mudah pasukan Salib dapat dikalahkan oleh pasukan
Dinasti Seljuk (Dewan Redaksi, 1997:241)
Pasukan
Salib angkatan berikutnya dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond. Gerakan
kali ini merupakan ekspedisi militer yang terorganisasi dan rapi, dan mereka
memperoleh kemenangan yang besar dengan menaklukan Nicea pada tanggal 18 Juni
1097 M, dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan
kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka
dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin II di Timur dengan
Bohemond sebagai raja. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis pada
tanggal 15 Juli 1099 M dan mendirikan kerajaan latin III dengan rajanya,
Godfrey. Selanjutnya mereka berturut-turut menguasai kota Akka pada tahun 1104
M, Tripoli tahun 1109 M dengan mendirikan kerajaan Latin IV dan rajanya
Raymond, kemudian kota Tyre pada tahun 1124 M(Yatim, 2003:77) .
IV. LAMANYA PERANG
SALIP
Perang Salib itu sejarahnya cukup panjang luas dan rumit,
hal ini terjadi atas profokasi imperium islam selama 5 abad (berarti sejak
muhammad).Seperti yang telah diketahui, Perang Salib terdiri dari 8
ekspedisi ke Timur yang terjadi selama dua abad, dari 1095 sampai 1270. Sejak
itu, istilah "crusade," yang arti sebenarnya adalah Perang Salib, di
pakai untuk berbagai macam situasi seperti perang-perang lain (terutama yang
berkaitan dengan agama) ataupun hal hal lain yang tidak ada kaitannya sama
sekali dengan agama.. Disini kita akan memfokuskan diri atas 8 Perang Salib
dalam tradisi.
.
Perang
Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa,
sebagian besar bangsa Perancis
dan Norman[14],
berangkat menuju Konstantinopel,
kemudian ke Palestina. Tentara
Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond,
dan Raymond
ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil
menaklukkan Nicea
dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa).
Di sini mereka mendirikan County Edessa
dengan Baldwin
sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia
dan mendirikan Kepangeranan
Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga
berhasil menduduki Baitul Maqdis
(Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M[15] dan mendirikan Kerajaan
Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul
Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka
(1104 M), Tripoli
(1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli
mereka mendirikan County Tripoli,
rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zengi
pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak,
berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa.
Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin
Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia
pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang
Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan
orang-orang Kristen
mengobarkan Perang Salib kedua.[16][17] Paus
Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut
positif oleh raja Perancis Louis
VII
dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan
Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju
mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus.
Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh
Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di
Mesir
tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir.
Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem
pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran
Hittin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan
County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan
demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88
tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus
merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu
dipimpin oleh Conrad dari Montferrat
berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali.
Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.
Perang
Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim
sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan.
Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick
Barbarossa raja Jerman, Richard
si Hati Singa raja Inggris,
dan Philip Augustus raja Perancis
memunculkan Perang Salib III.[18]
Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan
Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa - saat itu
merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur darat, melewati
Konstantinopel. Namun, Barbarossa
meninggal di daerah Cilicia
karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum
menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus.
Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil
merebut Akka
yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke
Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan
hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu
memasuki Palestina
lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2
Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang
disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa
orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis
tidak akan diganggu.[19]
Orang-orang yang
memimpin Perang Salib III adalah raja-raja Eropa terkenal seperti:
1. Raja Jerman
Frederic II Barbarosa
2. Raja Inggris
Richard the Lion Heart
3. Raja Perancis
Phillip Agustus.
Yang
paling menonjol dan energetik adalah Frederic II yang memilih jalan darat
menuju medan perang, menyeberangi sungai dekat Armenia, Ruha. Tetapi nasibnya
malang, ia tenggelam dan meninggal ketika menyeberang sungai itu.
Tentara
Inggris dan Perancis yang bergerak menuju jalan laut bertemu di Saqliah.
Richard menuju Cyprus kemudian ke Palestina, sedangkan Phillip terus ke
Palestina, dan mengepung Arqah dengan bantuan sisa-sisa Tentara Frederic.
Dalam pengepungan
ini turut pula orang-orang Syam di bawah pimpinan Guys yang pernah mengadakan
perjanjian damai dengan Salahuddin. Berkat dukungan tentara Richard dan
angkatan lautnya, Arqah dapat direbut dan dikuasai. Tentara Salib melakukan
pembunuhan besar-besaran meskipun setelah itu tidak ada lagi serangan
ketentaraan. Perang Salib III ini diakhiri dengan perjanjian Ramallah
(September 1192) setelah perang tiada henti selama 5 tahun. Perjanjian ini
mengakui Salahuddin sebagai penguasa Palestina seluruhnya kecuali bandar Acra
(satu jalur kecil dari Tyre ke Jaffa) yang berada di bawah pemerintahan
Kristen.
Perang
Salib keempat IV
Perang
Salib keempat IV
Pada tahun 1219 M, meletus
kembali peperanga yang dikenal dengan Perang Salib periode keempat dimana
tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II,
mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina,
dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Koptik.
Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath,
raja Mesir
dari Dinasti Ayyubiyah
waktu itu, al-Malik al-Kamil,
membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia
melepaskan Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick
menjamin keamanan kaum muslimin di
sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di
Syria.
Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih,
penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik
yang menggantikan posisi Dinasti
Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baibars, Qalawun, dan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh
kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur.
Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol,
sampai umat Islam
terusir dari sana.
Serangan
salib kelima (1218-1221)
diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil
Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang inkuisisi dan berbagai aturan
anti-Yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja
Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini hanyalah
“formalitas idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto Yerusalem
telah direbut kembali oleh al-Ayubi. Pada perang ini, orang-orang Kristen yang
sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke
Palestina. Tapi upaya ini gagal total. Sebelumnya pada tahun 1217 Leopold VI
dari Austria dan Andrew II dari Hungaria berhasil merebut kota Damietta, namun
setelah kekalahan mereka pada Pertempuran Al-Mansura mereka dipaksa mengembalikannya.
Mereka sempat ditawari kekuasaan atas Jerusalem dan tempat-tempat suci Kristen
di Palestina untuk ditukarkan dengan Damietta, namun Kardinal Pelagius
menolaknya.9
Perang salib keenam
(1228-1229
dipimpin oleh kaisar Suci Romawi Freidrich II
dari Hohenstaufen, menjadi Raja Jerusalem melalui perkawinannya dengan Yolanda,
puteri John dari Brienne.
Perang ini
terjadi tanpa pertempuran yang berarti, disebabkan karena Frederick sebelumnya
telah bersumpah untuk ikut dalam Perang Kelima namun gagal, sehingga merasa
sangat wajib untuk ikut berperang kembali meskipun dia tidak menginginkannya.
Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga
keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap
dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam)
dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.
Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia berhasil merebut kembali
Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun
kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.
Perang salib ketujuh
(1248-1254)
dipimpin oleh Louis IX (1215-1270) dari
Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII.
Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia
memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga ketika pada tahun 1248
menyerbu Mesir untuk merebut kembali Damietta tapi justru gagal dan tertangkap
di Mesir. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk
membebaskannya. Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan
menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk,
Bibars. Louis meninggal di medan perang.10
Perang Salib kedelapan
(1271)
dipimpin oleh Raja Edward I dari Inggris yang
mencoba bergabung dengan Raja Louis di Tunisia, namun gagal karena Edward tiba
setelah Louis meninggal. Sementara itu suku Baibar merebut Kastil Putih Tentara
Templar, dan kemudian Krak des Chevaliers, pusat kesehatan yang utama. Dia
kemudian melakukan perjanjian sepuluh tahun dengan Bohemond di Tripoli,
kemudian ke Selatan dan merebut Montfort pada bulan Juni. Pada musim gugur itu,
Raja Edward meminta Abaga mengirim 10.000 pasukan berkuda ke Syria; ini
merupakan aliansi terkuat antara Mongolia dan kaum Kristen. Mereka menyerang
Aleppo dan Apamea, namun tidak berhasil. Ketika Sultan Mamluk memimpin pasukan
besar ke utara pada bulan November, Mongolia pergi dan tidak kembali.
Pada tahun 1272,
dia menerima tawaran perjanjian sepuluh tahun dari Edward. Baibar telah merebut
banyak kota dan benteng utama, sehingga merasa dapat menunda menyelesaikan
pekerjaan tersebut. Namun dia juga tetap memikirkan ancaman dari Mongol. Pada
bulan Juni, Sultan menyuruh Assassin untuk membunuh Raja Edward. Usaha ini
hampir berhasil dimana Edward akhirnya sakit selama enam bulan, namun tidak
lama setelah sembuh ia kembali ke Inggris setelah mengetahui ayahnya Henry III
meninggal.
Dampak Perang Salib
Bangsa
Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam
lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa
mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari
kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang
besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib
dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen.
Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia
Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa.
Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Efek
negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen
Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal
dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga
pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada
Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai
“Perang salib melawan Atheisme”.
Sedangkan umat
Islam tidak mendapatkan apapun. Umat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu
pasukan yang bermoral bejat, yang sebagian besar berasal dari para penganggur
dan penjahat. Perang salib menghabiskan aset umat Islam baik sumber daya alam
maupun manusia. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk
perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis kaum laki-laki dan
pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena umat menghabiskan seluruh
waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk
mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan
dengan dunia perang.
Tokoh – tokoh pereng
salip
1. Salahudin
AL Ayubi ( panglima perang islam )
Salahudin Al Ayubi atau sering juga
di sebut sebagai “Saladin” di dunia barat, merupakan panglima perang Muslim
yang dikagumi kepiawaian berperang serta keshalihannya baik kepada kawan dan
lawan-lawannya. Keberanian dan kepahlawanannya tercatat sejarah di kancah
perang salib.
Sejarah Hidup Salahudin
Salahudin lahir disebuah kastil di
Takreet tepi sungai Tigris (daerah Irak) tahun 1137 Masehi atau 532 Hijriyah.
Bernama asli Salah al-Din Yusuf bin Ayub. Ayahnya Najm ad-Din masih keturunan
suku Kurdi dan menjadi pengelola kastil itu. Setelah kelahiran Salahudin
keluarga Najm-ad-Din bertolak ke Mosul, akibat ada konflik didalam kastil. Di
Mosul , keluarga Najm bertemu dan membantu Zangi, seorang penguasa arab yang
mencoba menyatukan daerah-daerah muslim yang terpecah menjadi beberapa kerajaan
seperti Suriah, Antiokhia, Aleppo, Tripoli, Horns, Yarussalem, Damaskus.
2. Orang-orang
yang memimpin Perang Salib III adalah raja-raja Eropa terkenal seperti:
1.
Raja Jerman Frederic II Barbarosa
2.
Raja Inggris Richard the Lion Heart
3.
Raja Perancis Phillip Agustus. \
Casino at Harrah's Lake Tahoe - MapyRO
BalasHapusFind 강원도 출장마사지 casinos and other gaming 익산 출장마사지 facilities near Harrah's Lake Tahoe in 화성 출장샵 Stateline, NV. Address: 파주 출장샵 777 Harrahs Blvd, Lake Tahoe, NV 89449 청주 출장마사지