Powered By Blogger

Kamis, 01 November 2012

perang salip



Perang salip
1. Pendahuluan
Perang salip adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur.[7namakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.[8]

Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.

Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan. Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.

Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.

Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.

Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antiokhia (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada

.

II. Faktor Penyebab Terjadinya Perang Salib

1. Faktor Agama
Sejak Dinasti Seljuk merebut Baitul Maqdis dari tangan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1070 M bertepatan pada tahun 471 H, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi memunaikan ibadah ke sana. Hal ini disebabkan karena para penguasa Seljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitul Maqdis. Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang-orang Seljuk yang fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Seljuk sangat berbeda dengan para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya (Dewan Redaksi, 1997:240).
Perlu diketahui, bahwa Dinasti Seljuk ialah dinasti yang pernah memerintah Kekhilafahan Abbasiyah setelah Dinasti Buwaih pada tahun 1055 M-1194 M (Yatim, 2003:50). Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat hijrah mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu, dan dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq, karenanya mereka disebut orang-orang Seljuk (Yatim, 2003:73)
Termasuk juga faktor agama yaitu, adanya perasaan keagamaan yang kuat dikalangan umat Kristen. Mereka meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walaupun dosa itu setinggi langit (Al-Wakil,1998:165.
2. Faktor Politik
Kekalahan Bizantium -sejak 330 disebut Konstantinopel (Istambul)- di Manzikart (Malazkird atau Malasyird, Armenia) pada tahun 1071 M dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasaan Seljuk, telah mendorong Kaisar Alexius I Commenus (Kaisar Konstantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II (1035-1099; menjadi Paus dari 1088 sampai 1099) dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan Dinasti Seljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma dan harapan untuk dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma (Dewan Redaksi, 1997:240). Oleh karena itu Paus Urbanus II berpidato kepada seluruh umat Kristen Eropa di Clermont pada tahun 1095 M untuk melakukan perang suci. Dia juga mengetahui berbagai kesuksesan Kristen di Spanyol, yang mencapai puncaknya dengan direbutnya Toledo, dan penaklukan di Sisilia (Watt, 1990:255).
Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah, sehingga orang-orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib. Ketika itu Dinasti Seljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan, Dinasti Fatimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segitiga antara Khalifah Fatimiyah di Mesir, Khalifah Abbasiyah di Baghdad, dan Amir Umayyah di Cordoba yang memproklamasikan dirinya sebagai Khalifah. Situasi yang demikian mendorong penguasa-penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu-persatu daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti dinasti-dinasti kecil di Edessa (ar-Ruha') dan Baitul Maqdis (Dewan Redaksi, 1997:240).
3. Faktor Sosial Ekonomi
Pedagang-pedagang besar yang berada di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada dikota Venezia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur Eropa akan bersambungt dengan rute-rute perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut
Di samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu kaum gereja, kaum bangsawan serat kesatria, dan rakyat jelata. Meskipun kelompok yang terakhir ini merupakan mayoritas di dalam masyarakat, tetapi mereka menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat tertindas dan terhina, mereka harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-semena dan mereka dibebani berbagai pajak serta sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, ketika mareka dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila perang dapat dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan berduyun-duyun melibatkan diri dalam perang tersebut.
III. Bagaimana Perang Salib Dimulai

Paus Urbanus II bersemangat terhadap gagasan memerangi kaum Muslimin, apalagi kondisinya katika itu sangat tepat bagi Sri Paus untuk memompa semangat dan menuruti bisikan hatinya yang penuh dengan kedengkian dan kebencian itu. Kondisi ketika itu teringkas dalam poin-poin berikut:
1.  Kelemahan Dinasti Seljuk pasca wafatnya Malik Syah, akibatnya negara Seljuk terpecah-pecah.
2. Tidak adanya pemimpin yang kuat yang menyatukan perpecahan umat Islam dan membentuk pasukan yang tangguh guna mengusir setiap lawan yang bermaksud jahat kepadanya.
3. Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen, ini berarti membuka jalan antara Eropa dan negara-negara Timur
4. Penaklukan Qarsinah di laut tengah dan berdirinya republik-republik kuat dan kaya raya di Italia seperti Januh dan Bunduqiyah. Republik-republik tersebut memiliki angkatan laut yang kuat untuk melindungi keselamatan bisnisnya.
5. Kemenangan Sri Paus dalam mengendalikan para raja dan para gubernur di Eropa.
Karena kondisi-kondisi di atas, Sri Paus berani mengumumkan terang-terangan permusuhannya dan kebenciannya kepada kaum Muslimin. Ia menyerukan diselenggarakannya kongres tahunan yang dihadiri oleh seluruh sekte agama Kristen di Eropa Barat. Seruan Sri Paus disambut sebagian besar umat Kristiani yang dihadiri 225 uskup gereja-gereja Eropa. Sri Paus berpidato di hadapan mereka dan membakar sentimentil para hadirin. Ia jelaskan kondisi terakhir Baitul Maqdis dan mengusulkan pembebasannya dari tangan kaum Muslimin. Para peserta kongres menjawab dengan bodohnya: "Itulah sebenarnya yang dikehendaki Allah!". Sri Paus puas dengan jawaban para peserta kongres kemudian ia pasang salib di atas lengan para sukarelawan sebagai tanda bahwa perang ini adalah suci (Al-Wakil, 1998:171).
Maka mulai saat itulah genderang perang ditabuh, dan perjalanan perang ini memakan waktu yang cukup lama dengan tiga periodesasi.
A. Periode Pertama atau Periode penaklukan (1096-1144)
Jalinan kerja sama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitkan semangat umat Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II pada Konsili Clermont pada tanggal 26 November 1095 M. Pidatonya ini bergema ke seluruh penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat. Gerakan ini dipimpin oleh Pierre I'Ermite, Sepanjang jalan menuju Kontanstantinopel, mereka membuat keonaran, melakukan perampokan, dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongaria dan Bizantium, akhirnya dengan mudah pasukan Salib dapat dikalahkan oleh pasukan Dinasti Seljuk (Dewan Redaksi, 1997:241)
Pasukan Salib angkatan berikutnya dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond. Gerakan kali ini merupakan ekspedisi militer yang terorganisasi dan rapi, dan mereka memperoleh kemenangan yang besar dengan menaklukan Nicea pada tanggal 18 Juni 1097 M, dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin II di Timur dengan Bohemond sebagai raja. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis pada tanggal 15 Juli 1099 M dan mendirikan kerajaan latin III dengan rajanya, Godfrey. Selanjutnya mereka berturut-turut menguasai kota Akka pada tahun 1104 M, Tripoli tahun 1109 M dengan mendirikan kerajaan Latin IV dan rajanya Raymond, kemudian kota Tyre pada tahun 1124 M(Yatim, 2003:77) .
 
IV. LAMANYA PERANG SALIP

 Perang Salib itu sejarahnya cukup panjang luas dan rumit, hal ini terjadi atas profokasi imperium islam selama 5 abad (berarti sejak muhammad).Seperti yang telah diketahui, Perang Salib terdiri dari 8 ekspedisi ke Timur yang terjadi selama dua abad, dari 1095 sampai 1270. Sejak itu, istilah "crusade," yang arti sebenarnya adalah Perang Salib, di pakai untuk berbagai macam situasi seperti perang-perang lain (terutama yang berkaitan dengan agama) ataupun hal hal lain yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama.. Disini kita akan memfokuskan diri atas 8 Perang Salib dalam tradisi.
.
Perang Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman[14], berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M[15] dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zengi pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua.[16][17] Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hittin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.
Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan Perang Salib III.[18] Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa - saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.[19]
Orang-orang yang memimpin Perang Salib III adalah raja-raja Eropa terkenal seperti:
1. Raja Jerman Frederic II Barbarosa
2. Raja Inggris Richard the Lion Heart
3. Raja Perancis Phillip Agustus.
Yang paling menonjol dan energetik adalah Frederic II yang memilih jalan darat menuju medan perang, menyeberangi sungai dekat Armenia, Ruha. Tetapi nasibnya malang, ia tenggelam dan meninggal ketika menyeberang sungai itu.
Tentara Inggris dan Perancis yang bergerak menuju jalan laut bertemu di Saqliah. Richard menuju Cyprus kemudian ke Palestina, sedangkan Phillip terus ke Palestina, dan mengepung Arqah dengan bantuan sisa-sisa Tentara Frederic.
Dalam pengepungan ini turut pula orang-orang Syam di bawah pimpinan Guys yang pernah mengadakan perjanjian damai dengan Salahuddin. Berkat dukungan tentara Richard dan angkatan lautnya, Arqah dapat direbut dan dikuasai. Tentara Salib melakukan pembunuhan besar-besaran meskipun setelah itu tidak ada lagi serangan ketentaraan. Perang Salib III ini diakhiri dengan perjanjian Ramallah (September 1192) setelah perang tiada henti selama 5 tahun. Perjanjian ini mengakui Salahuddin sebagai penguasa Palestina seluruhnya kecuali bandar Acra (satu jalur kecil dari Tyre ke Jaffa) yang berada di bawah pemerintahan Kristen.

Perang Salib keempat IV

Perang Salib keempat IV

Pada tahun 1219 M, meletus kembali peperanga yang dikenal dengan Perang Salib periode keempat dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Koptik. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baibars, Qalawun, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Serangan salib kelima (1218-1221)

 diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang inkuisisi dan berbagai aturan anti-Yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini hanyalah “formalitas idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayubi. Pada perang ini, orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total. Sebelumnya pada tahun 1217 Leopold VI dari Austria dan Andrew II dari Hungaria berhasil merebut kota Damietta, namun setelah kekalahan mereka pada Pertempuran Al-Mansura mereka dipaksa mengembalikannya. Mereka sempat ditawari kekuasaan atas Jerusalem dan tempat-tempat suci Kristen di Palestina untuk ditukarkan dengan Damietta, namun Kardinal Pelagius menolaknya.9

Perang salib keenam (1228-1229

 dipimpin oleh kaisar Suci Romawi Freidrich II dari Hohenstaufen, menjadi Raja Jerusalem melalui perkawinannya dengan Yolanda, puteri John dari Brienne.
Perang ini terjadi tanpa pertempuran yang berarti, disebabkan karena Frederick sebelumnya telah bersumpah untuk ikut dalam Perang Kelima namun gagal, sehingga merasa sangat wajib untuk ikut berperang kembali meskipun dia tidak menginginkannya. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.

Perang salib ketujuh (1248-1254)

 dipimpin oleh Louis IX (1215-1270) dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga ketika pada tahun 1248 menyerbu Mesir untuk merebut kembali Damietta tapi justru gagal dan tertangkap di Mesir. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya. Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.10

Perang Salib kedelapan (1271)

 dipimpin oleh Raja Edward I dari Inggris yang mencoba bergabung dengan Raja Louis di Tunisia, namun gagal karena Edward tiba setelah Louis meninggal. Sementara itu suku Baibar merebut Kastil Putih Tentara Templar, dan kemudian Krak des Chevaliers, pusat kesehatan yang utama. Dia kemudian melakukan perjanjian sepuluh tahun dengan Bohemond di Tripoli, kemudian ke Selatan dan merebut Montfort pada bulan Juni. Pada musim gugur itu, Raja Edward meminta Abaga mengirim 10.000 pasukan berkuda ke Syria; ini merupakan aliansi terkuat antara Mongolia dan kaum Kristen. Mereka menyerang Aleppo dan Apamea, namun tidak berhasil. Ketika Sultan Mamluk memimpin pasukan besar ke utara pada bulan November, Mongolia pergi dan tidak kembali.
Pada tahun 1272, dia menerima tawaran perjanjian sepuluh tahun dari Edward. Baibar telah merebut banyak kota dan benteng utama, sehingga merasa dapat menunda menyelesaikan pekerjaan tersebut. Namun dia juga tetap memikirkan ancaman dari Mongol. Pada bulan Juni, Sultan menyuruh Assassin untuk membunuh Raja Edward. Usaha ini hampir berhasil dimana Edward akhirnya sakit selama enam bulan, namun tidak lama setelah sembuh ia kembali ke Inggris setelah mengetahui ayahnya Henry III meninggal.

Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan Atheisme”.
Sedangkan umat Islam tidak mendapatkan apapun. Umat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat, yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan aset umat Islam baik sumber daya alam maupun manusia. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis kaum laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena umat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.

Tokoh – tokoh pereng salip

1.  Salahudin AL Ayubi ( panglima perang islam )

Salahudin Al Ayubi atau sering juga di sebut sebagai “Saladin” di dunia barat, merupakan panglima perang Muslim yang dikagumi kepiawaian berperang serta keshalihannya baik kepada kawan dan lawan-lawannya. Keberanian dan kepahlawanannya tercatat sejarah di kancah perang salib.
Sejarah Hidup Salahudin
Salahudin lahir disebuah kastil di Takreet tepi sungai Tigris (daerah Irak) tahun 1137 Masehi atau 532 Hijriyah. Bernama asli Salah al-Din Yusuf bin Ayub. Ayahnya Najm ad-Din masih keturunan suku Kurdi dan menjadi pengelola kastil itu. Setelah kelahiran Salahudin keluarga Najm-ad-Din bertolak ke Mosul, akibat ada konflik didalam kastil. Di Mosul , keluarga Najm bertemu dan membantu Zangi, seorang penguasa arab yang mencoba menyatukan daerah-daerah muslim yang terpecah menjadi beberapa kerajaan seperti Suriah, Antiokhia, Aleppo, Tripoli, Horns, Yarussalem, Damaskus.

2. Orang-orang yang memimpin Perang Salib III adalah raja-raja Eropa terkenal seperti:
1. Raja Jerman Frederic II Barbarosa
2. Raja Inggris Richard the Lion Heart
3. Raja Perancis Phillip Agustus. \

1 komentar:

  1. Casino at Harrah's Lake Tahoe - MapyRO
    Find 강원도 출장마사지 casinos and other gaming 익산 출장마사지 facilities near Harrah's Lake Tahoe in 화성 출장샵 Stateline, NV. Address: 파주 출장샵 777 Harrahs Blvd, Lake Tahoe, NV 89449 청주 출장마사지

    BalasHapus